Tiga hari setelah banjir besar merendam 19 kecamatan di Kota Medan, cerita getir terus mengalir dari lokasi-lokasi pengungsian. Tenda gelap tanpa listrik, anak-anak menggigil menahan dingin, hingga antrean panjang warga menunggu makanan yang tak kunjung datang, menjadi potret betapa lambannya penanganan di lapangan.
Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Medan, Muslim, menyebut Pemerintah Kota Medan gagal merespons cepat bencana yang sebenarnya sudah diperingatkan BMKG jauh sebelum hujan ekstrem tiba.
“Pemko Medan tidak siap menghadapi banjir Medan. Warga kita memprihatinkan. Kebijakan darurat tidak langsung keluar, perangkatnya juga jadi lambat bergerak,” tegas Muslim, Selasa (2/12/2025).
Pengungsian Tanpa Dapur Umum: Warga Bertahan dengan Nasi Bungkus Seadanya
Keluhan paling keras datang dari wilayah padat pengungsi, terutama Medan Marelan. Banyak pengungsian berdiri secara darurat menggunakan aula, sekolah, hingga rumah ibadah. Namun satu hal yang tak hadir: dapur umum pemerintah.
Akibatnya, ratusan warga harus bertahan dengan nasi bungkus dari relawan dan stok pribadi yang hanya cukup dua hari.
“Kalau sejak awal camat, lurah, dan kepling diperintahkan membuat dapur umum, warga tidak akan kelaparan. Tapi karena tidak ada instruksi, semuanya terlambat. Ada pengungsian yang baru dapat nasi bungkus tanggal 29, dua hari setelah banjir,” ucap Muslim.
Pemko berdalih akses jalan terputus akibat banjir. Namun bagi warga, alasan itu tak meringankan rasa lapar yang harus mereka tanggung.
Tiga Hari Tanpa Listrik, Tanpa Air Bersih, Tanpa Internet
Di Medan Utara, situasi jauh lebih berat. Sudah tiga hari warga bertahan tanpa listrik, tanpa air bersih, dan akses komunikasi terputus.
Malam-malam mereka hanya ditemani suhu dingin dan tenda lembap. Banyak yang tak tahu kapan bantuan berikutnya akan tiba.
“Bayangkan sengsaranya warga. Sudah rumah terendam, makanan telat, listrik padam, internet mati. Ini bukan kondisi ringan,” kata Muslim.
Layanan Kesehatan Lemah, Anak-anak Mulai Sakit
Masalah berikutnya muncul dari kesehatan.
Banyak anak mengalami demam, batuk, dan diare setelah berhari-hari tidur di lantai pengungsian tanpa sanitasi. Namun posko kesehatan tidak merata, dan sebagian besar masih bergantung pada puskesmas terdekat—yang kapasitasnya terbatas.
“Ini status tanggap darurat. Pemko harus melibatkan banyak rumah sakit. Harus ada pemeriksaan dan pengobatan gratis. Jangan tunggu warga makin sakit,” tegasnya.
Sampah Menumpuk, Bau Menyengat, Risiko Penyakit Mengintai
Di kawasan Terjun, Medan Marelan, warga mengaku sudah dua hari hidup di tengah tumpukan sampah pasca banjir. Lumpur tebal masih menempel di lantai rumah, dan perabotan berubah menjadi puing.
Namun tak satu pun petugas kebersihan terlihat.
“Sampai hari ini gak ada petugas kebersihan. Kompleks kami di Terjun penuh sampah dan bau. Warga sudah mulai sakit, tapi tak ada petugas medis. Kami takut sampah dua hari ini jadi sumber penyakit,” ujar Rizky, warga terdampak banjir, Selasa.
Air banjir di sana sebelumnya mencapai seleher orang dewasa, memaksa warga mengungsi tanpa sempat menyelamatkan harta benda.
Harapan Terakhir: Pemerintah Harus Berbenah
Muslim menegaskan, kritik ini bukan untuk memperkeruh situasi, melainkan menjadi alarm keras bagi Pemko Medan agar memperbaiki koordinasi bencana.
“Kita tak bisa terus-terusan gagap menghadapi banjir. Medan berada di jalur cuaca ekstrem, risiko makin tinggi. Pemerintah harus lebih siap sebelum warga kembali menjadi korban,” pungkasnya.
Sementara itu, warga di banyak titik pengungsian kini mengandalkan relawan dan memasak menggunakan tungku darurat. Bantuan datang tak seimbang dengan jumlah pengungsi yang terus bertambah.
Medan menunggu langkah nyata.
Sumber : Tribun
0 Komentar